Travel

Minggu, 12 Maret 2017

JAKARTA -- Umar bin Khattab dikenal sebagai sosok yang gagah, kuat, dan tangguh. Namun, hari itu tangisnya meledak saat utusan Aisyah mengantarkan seorang hamba sahaya dan seekor unta. Bukan hamba sahaya dan unta yang membuat Umar menangis. Tetapi wasiat di baliknya. Aisyah menceritakan, sebelum Abu Bakar wafat, ia menyampaikan wasiat kepadanya. "Aisyah, tolong periksa seluruh hartaku. Jika ada yang bertambah setelah aku menjabat sebagai khalifah, kembalikan kepada negara melalui khalifah yang terpilih setelahku," ujar Abu Bakar menjelang detik-detik wafatnya. Tentu saja Aisyah sedih mendengat wasiat itu. Bukan karena apa-apa, tetapi karena ia merasa akan ditinggal oleh sang ayah. Belum tiga tahun Rasulullah meninggalkannya, kini ia akan ditinggalkan sang ayah. Dan, benar Abu Bakar wafat tak lama setelah itu. Aisyah pun memeriksa seluruh harta ayahnya. "Kami memeriksa seluruh harta Abu Bakar", kata Aisyah. "Tidak ada yang bertambah dari hartanya kecuali unta yang biasa dipergunakan untuk menyirami kebun dan seorang hamba sahaya pengasuh yang menggendong bayinya." "Allah merahmati Abu Bakar," kata Umar sambil tersengguk-sengguk. "Ia telah menyusahkan orang-orang setelahnya." Maksud menyusahkan orang-orang setelahnya adalah membuat khalifah sesudahnya tidak mampu mengungguli Abu Bakar, bahkan sulit mencontoh kualitasnya. Seperti diketahui, Umar sangat terpacu dengan amal-amal Abu Bakar. Sahabat bergelar Ash-Shiddiq itu selalu mengunggulinya dalam berbagai amal. Ketika di suatu waktu sehabis shalat Shubuh, misalnya. Rasulullah bertanya kepada jamaah, siapa yang tadi malam qiyamul lail, siapa yang tadi malam khatam Alquran, siapa yang pagi ini sudah berinfak, dan siapa yang sudah menjenguk orang sakit, ternyata hanya Abu Bakar yang mengacungkan tangan terus menerus. Sahabat lain ada yang mengacungkan tangan sesekali, lalu menurunkan tangannya sesekali. Sedangkan Abu Bakar, ia telah melakukan seluruh amal yang disebutkan Rasulullah itu. Sosok Abu Bakar sungguh telah mencontohkan kebijakan yang luar biasa. Benar-benar pemimpin antikorupsi dan zuhud tingkat tinggi. Ia tidak mau mendapatkan kelebihan harta apa pun selama menjabat sebagai khalifah. Padahal, Abu Bakar adalah juga seorang saudagar yang sangat wajar jika hartanya bertambah. Abu Bakar juga berusaha untuk selalu mengisi waktu hidupnya berlomba dan berbuat kebaikan yang bermanfaat bagi siapa saja. Kasus-kasus korupsi di Indonesia terus bermunculan dan menjadi sorotan publik. Ditambah lagi, sebagian besar pelaku korupsi adalah para pejabat penerima amanah kepemimpinan dan rakyat. Sungguh sangat jauh berbeda dengan kondisi kepemimpinan Abu Bakar saat menjadi khalifah. Ia merasa khawatir dan ketakutan yang sangat jika harta bendanya bertambah di saat mengemban amanah umat dan rakyat. Namun, pejabat saat ini justru jangankan khawatir, bahkan (mungkin) rasa takutpun tidak ada sehingga mereka terus melakukan korupsi. Jika setiap pemimpin negeri ini bersedia menghitung ulang dan melaporkan harta benda miliknya yang diperoleh sebelum dan sesudah ia memangku suatu jabatan dengan jujur, bahkan ia bersedia untuk mengembalikan harta yang diperolehnya itu, apabila dianggap mencurigakan dan terindikasi akibat perilaku korupsi. Maka, penurunan kasus korupsi di negeri ini akan sedikit demi sedikit menghilang dan sedikit demi sedikit pula akan beranjak pada tangga keadilan dan kesejahteraan rakyat. Wallahu a'lam.

Sabtu, 11 Maret 2017

JAKARTA -- Allah SWT telah menetapkan rezeki untuk setiap hamba-Nya. Apa yang menjadi rezeki seseorang tidak akan mungkin jatuh ke tangan orang lain dan tidak akan berkurang sedikit pun. Ia menerimanya secara utuh sebelum ajal menemuinya. Rezeki itu tidak hanya berupa harta kekayaan, tetapi juga kesehatan, waktu luang, anak saleh, rumah tangga yang baik, dan semua nikmat Allah--baik yang tampak maupun tidak tampak, baik yang besar maupun yang kecil-- itu semua adalah rezeki. Dan, rezeki selain harta itu lebih baik (berharga) bagi orang yang bertakwa. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak mengapa kekayaan orang yang bertakwa. Kesehatan lebih baik daripada kekayaan bagi yang bertakwa. Kebaikan jiwa adalah sebagian dari nikmat Allah." (HR Ahmad). Karena itu, janganlah seseorang mengorbankan sesuatu yang jauh lebih berharga dari harta kekayaan. Namun, tidak sedikit orang yang mengorbankan agama, keimanan, dan kebaikan jiwanya, hanya untuk mendapatkan harta dunia dengan melupakan akhiratnya. Kekurangan dari sisi harta jangan sampai membuat kita lupa untuk bersyukur kepada-Nya, atas berbagai nikmat yang jauh lebih berharga daripada harta dunia. Dan, hendaknya kita menjadikan harta kekayaan itu sebagai sarana merealisasikan rezeki yang jauh lebih berharga, yaitu ketakwaan kepada-Nya. Maka itu, jika kita melihat seseorang yang bergelimang dengan kemaksiatan dan dosa, tetapi rezekinya tampak lancar-lancar saja, kita harus waspada dan menyadari bahwa hal itu adalah bagian dari istidraj. Rasulullah SAW bersabda, "Jika kamu melihat Allah memberi kepada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah." (HR Ahmad). Tatkala seseorang bersenang-senang dengan berbagai fasilitas (kenikmatan) yang mereka dapatkan, semakin bertambah dan dibukakan pintu kemudahan lainnya sehingga mereka lupa bahwa itu merupakan jebakan nikmat. Allah SWT berfirman, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (QS al-An'am [6]: 44). Sebaliknya, jika kita melihat seorang hamba melakukan berbagai ketaatan kepada Allah, rezekinya biasa-biasa saja, hendaknya kita menyadari bahwa Allah telah menghendaki agar ia mendapatkan kenikmatan yang jauh lebih berharga di akhirat kelak secara sempurna (surga). Semoga Allah membimbing kita agar menjadi seorang hamba, yang senantiasa pandai bersyukur atas nikmat apa pun dan seberapa pun yang dikaruniakan kepada kita. Amin. Sumber : Republika

Jumat, 10 Maret 2017

JAKARTA -- Allah berfirman yang artinya, "Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?" (QS al-Balad: 5). Seorang yang beriman dia akan sadar bahwa dirinya makhluk yang lemah, membutuhkan rahmat Allah, dan selalu takut kepada siksaan-Nya jika ia menzalimi orang lain. Seorang yang beriman tidak akan menyombongkan diri dengan kekuatan fisik, kecerdasan, harta, dan atau jabatannya. Allah Maha Berkuasa untuk mencabut nikmat kesehatan dari hamba-Nya. Ada seorang yang sedang berolahraga tenis lapangan, tiba-tiba terjatuh dan sakit stroke. Ada orang yang sakit sehingga dokter tidak memperbolehkannya untuk memakan makanan apa saja kecuali lewat infus. Seorang yang bergelar Profesor Doktor, bisa sewaktu-waktu Allah cabut kecerdasannya dengan hilang ingatan atau menjadi gila, semoga Allah melindungi kita dari hilangnya kenikmatan. Begitu pula dengan harta yang dimiliki manusia, dengan mudah Allah berkuasa untuk mencabut nikmat kekayaan harta dari hamba-Nya dan seketika menjadi orang bangkrut, terlilit utang yang banyak, dan menjadi miskin. Imam Hasan Bashri berkata tentang ayat di atas, "Apakah manusia mengira bahwa tidak ada yang mampu untuk mengambil harta bendanya?" Imam Qatadah berkata, "Apakah manusia mengira ia tidak akan ditanya (di akhirat) tentang harta bendanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan?" Terkadang harta itu menjadi musuh dan menyiksa pemiliknya. Imam Qurthubi berkata tentang ayat di atas, "Apakah manusia mengira bahwa Allah tidak akan menghukumnya?" Bagi semua para pemimpin, hendaknya takut kepada pembalasan Allah jika ia berbuat zalim kepada orang yang dipimpinnya. Abu Mas'ud Al Badri berkata, "Aku pernah memukul pelayanku dengan cambuk, tiba-tiba aku mendengar suara dari belakangku, 'Ketahuilah wahai Abu Mas'ud!' Aku tidak memperhatikan suara tersebut karena sedang larut dalam kemarahan." "Ketika sumber suara itu telah mendekat, ternyata beliau adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau bersabda, 'Ketahuilah wahai Abu Mas'ud! Ketahuilah wahai Abu Mas'ud!" Abu Mas'ud berkata, "Kemudian, aku melemparkan cambuk dari tanganku." Lantas Beliau SAW bersabda, "Ketahuilah wahai Abu Mas'ud!, Sesungguhnya Allah lebih berkuasa atas dirimu daripada kekuasaanmu atas budakmu ini." Abu Mas'ud berkata lagi, Kemudian aku berkata, "Aku tidak akan memukul seorang budak pun setelah itu" (HR Muslim) Maksud dari ayat dan hadis di atas, jika ia seorang atasan atau majikan, dia tidak akan menzalimi bawahan atau karyawannya. Jika ia seorang suami, ia tidak akan menyakiti istrinya. Jika ia seorang penguasa, ia tidak akan bersikap arogan dan menzalimi rakyatnya. Penguasa ibarat orang tua yang sayang kepada rakyat. Penguasa yang membaca dan merenungi ayat dan hadis di atas dia akan menyadari bahwa kekuasaannya merupakan amanat. Kekuasaan dan jabatan suatu saat akan lenyap, adapun dampak kezaliman yang dilakukannya akan langgeng ia rasakan, kecuali jika ia bertobat. Jika Allah sekarang membiarkannya berbuat zalim, itu tanda sedang diulur. Termasuk hukuman Allah kepada hamba-Nya ketika ia menganggap bahwa kebatilan yang dilakukannya sebagai kebenaran dan kebenaran yang diingkarinya dianggap sebagai kebatilan. Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan berilah karunia kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan berilah karunia kepada kami kemampuan untuk menjauhinya, amin. Sumber:Republika

Kamis, 09 Maret 2017

JAKARTA -- Sudah beberapa bulan ini hampir seluruh wilayah Indonesia setiap hari diguyur hujan, bahkan kadang seharian penuh. Hujan sesungguhnya adalah anugerah dari Allah bagi hamba-hamba-Nya. Hujan adalah ciptaan Allah, tak seorang pun yang mampu mendatangkan hujan sebagaimana Allah mendatangkan hujan. Sebab Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah berfirman, "Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Fushshilat [41]: 39). Hujan adalah salah satu waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah pernah bersabda, "Carilah doa yang mustajab pada tiga keadaan: bertemunya dua pasukan, menjelang shalat dilaksanakan, dan saat hujan turun" (HR Baihaqi'). Bahkan Rasulullah pernah berdoa, "Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turunkanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan" (HR Bukhari). Karena itu, jika kemarau dirasakan terlalu panjang hingga kekeringan, maka kaum Muslimin dianjurkan melaksanakan shalat Istisqa, meminta hujan kepada Allah Sang Pencipta kemarau dan hujan. Sebab fenomena kemarau dan hujan adalah dua tanda-tanda kekuasaan Allah untuk menjadi renungan bagi manusia. Sebelum melaksanakan shalat Istisqa, dianjurkan untuk berpuasa, bersedekah, dan bertobat. Saat pelaksanaan Istisqa, dianjurkan seluruh warga keluar bersama anak-anak dan hewan-hewan ternak dengan memakai pakaian yang sederhana dengan terus memanjatkan doa yang khusyuk dan merendahkan hati. Dalam perspektif teologis, musim kemarau maupun hujan adalah bagian dari peringatan dan teguran dari Allah bagi manusia. Dari Aisyah berkata, apabila Rasulullah melihat mendung atau angin (kencang) terlihat (perubahan) di wajahnya, lalu aku bertanya: "Wahai Rasulullah, aku lihat manusia bergembira ketika melihat mendung karena berharap akan turun hujan, tetapi aku lihat engkau ketika melihatnya (mendung), aku mengetahui dari wajahmu engkau tidak menyukainya." Lalu Rasulullah bersabda: "Wahai Aisyah, tidak ada yang memberi keamanan akan datangnya azab (kecuali Allah) yang telah mengazab suatu kaum dengan angin (kencang), padahal kaum tersebut melihat azab itu lalu mereka mengatakan: 'Ini hanya mendung yang akan menurunkan hujan kepada kami' (padahal itu adalah azab Allah).(QS al-Ahqaf: 24]" (HR Bukhari dan Muslim). Peringatan dan teguran Allah kepada manusia berkaitan erat dengan perilaku manusia dalam menyikapi kehidupan, alam dan sesama manusia. Terhadap alam dan lingkungan, manusia terbukti telah melakukan berbagai kerusakan. Manusia telah melakukan berbagai eksplorasi bumi dan hutan hingga merusak keseimbangan alam yang telah Allah atur keseimbangannya secara sistemis dan sistematis. Eksplorasi sumber daya alam besar-besaran dan pembakaran hutan dengan tujuan materialisme segelintir manusia kapitalis dengan mengabaikan aspek teologis dan kesejahteraan rakyat adalah bentuk kezaliman kemanusiaan. Allah telah mengingatkan manusia untuk menjaga keseimbangan alam yang telah Allah tata sedemikian rupa bagi kebaikan manusia seluruhnya. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan, kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia letakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS ar-Rahmaan: 3-9). Kesalahan dan perusakan lingkungan demi keuntungan duniawi akan mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri. Ketidakseimbangan lingkungan alam akan mendatangkan kekeringan jika musim kemarau, dan akan mendatangkan banjir dan tanah longsor saat musim hujan. Sumber:Republika

Rabu, 08 Maret 2017

JAKARTA -- Dalam kehidupan dunia, setiap jiwa pasti pernah mengalami sakit. Ada yang sebentar, ada yang cukup lama, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Namun demikian, Rasulullah bersabda, "Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah." (HR Muslim). Demikian pula seperti yang diungkapkan oleh Nabi Ibrahim, "Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS asy-Sy'araa [26]: 80). Ibn Katsir menjelaskan maksud ayat di atas, "Jika aku menderita sakit, maka tidak ada seorang pun yang kuasa menyembuhkanku selain Dia sesuai takdir-Nya yang dikarenakan oleh sebab yang menyampaikannya." Jadi, untuk jenis penyakit pertama dalam hal fisik, obatnya adalah mencari sebab penyembuhan (berobat) dengan hanya memohon kesembuhan kepada Allah semata. Demikian diteladankan oleh Nabi Ayyub Alaihissalam, "Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: (Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." (QS. Al-Anbiya [21]: 83). Penyakit kedua berupa kebodohan. Obatnya adalah bertanya kepada ahlinya (ulama). Jabir bin Abdillah mengisahkan, "Kami pernah mengadakan suatu perjalanan. Pada saat itu, salah seorang dari kami tertimpa batu sehingga kepalanya terluka parah. Kemudian, orang itu mengalami mimpi basah." "Ia bertanya kepada para sahabatnya, 'Apakah menurut kalian aku telah mendapatkan keringanan untuk bertayamum (sebagai pengganti mandi?)' Mereka menjawab, 'Menurut kami, kamu tidak mendapatkan keringanan. Sebab, kamu masih bisa memakai air.' Ia pun mandi dan akhirnya meninggal dunia." Mengetahui hal tersebut, Rasulullah bersabda, "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka! Mengapa mereka tidak bertanya bila tidak mengetahui? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya. Seharusnya ia cukup bertayamum saja, caranya dengan menutupi bagian yang luka tersebut dengan secarik kain lalu mengusap atasnya, baru kemudian mengguyur anggota tubuhnya yang lain dengan air." (HR Abu Dawud). Penyakit ketiga berupa musibah. Obatnya adalah doa. Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya, Ad-Daa' wa Ad-Dawaa', menjelaskan bahwa doa adalah obat yang bermanfaat dan musuh bagi bencana. Doa akan menerangi, mengobati, mencegah, menghilangkan, ataupun meringankan bencana yang menimpa. Begitu hebatnya obat yang bernama doa ini sampai dikatakan bahwa doa adalah senjata orang beriman. "Doa adalah senjata kaum Mukminin dan merupakan tiang agama serta cahaya langit dan bumi." (HR Hakim). Kemudian, dari Ibn Umar, bahwasanya Nabi bersabda, "Doa akan memberikan manfaat terhadap apa yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Maka hendaklah kalian semua berdoa, wahai hamba-hamba Allah." (HR Hakim). Oleh karena itu, dapat kita pahami dengan mudah mengapa kemudian Allah menegaskan bahwa, "Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS al-Baqarah: 186). Akan tetapi, ada satu jenis penyakit yang Allah turunkan tanpa obat. Sabda Nabi, penyakit itu adalah "ketuaan" (HR Tirmidzi). Sumber: Republika

Selasa, 07 Maret 2017

JAKARTA -- Islam mengajarkan kita untuk selalu memelihara mulut dari kata-kata yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Bahkan Alquran memberi petunjuk dengan baik tentang cara berkomunikasi melalui mulut. Pertama, berkata dengan qaulan syadidan (perkataan yang benar dan lurus); kedua, berkata dengan qaulan balighan (perkataan yang menyentuh lubuk hati); dan ketiga, berkata dengan qaulan layyinan (perkataan yang lembut/menyenangkan). Ketiga perkataan tersebut, bila dilaksanakan dengan benar, akan dapat mewujudkan komunikasi yang bebas dari rintangan dan hambatan (efektif). Bagi kaum sufi, memelihara mulut dengan kata-kata yang benar dan menyenangkan sangat diutamakan. Bagi mereka, diam adalah emas yang dapat menjunjung tinggi martabat daripada kata-kata yang dapat menyia-nyiakan amalnya. Demikian hati-hatinya sang sufi, sehingga Rabi' al-Khaitam — seorang sufi ternama — setiap hendak berbicara ia menyiapkan kertas dan pena untuk menulis dan mengevaluasinya. Alquran dan Hadis mendorong setiap orang yang hendak berbicara agar mempergunakan daya intelektual dan kematangan emosinya. Janganlah mengikuti apa yang engkau tak mempunyai pengetahuan tentangnya (QS al-Isra' [17]: 36). "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir," kata Nabi Saw, "berbicaralah dengan baik atau diam" (HR Bukhari Muslim). Memelihara mulut dengan daya intelek dan kematangan emosi merupakan tindakan terpuji. Itu sebabnya, kaum sufi memelihara mulutnya dengan selalu ingat (zikir) kepada Allah. Dengan cara seperti inilah, kita dapat mempererat tali persaudaraan, dengan menghindarkan diri dari mengatakan julukan/gelar yang menyakitkan orang lain. Ketidakmampuan kita memelihara mulut dan kata-kata yang kotor, serta julukan yang menyakitkan, tak hanya akan merobohkan martabat yang bersangkutan, tetapi juga bisa membawa api kemarahan yang sanggup merengut nyawa manusia. "Banyak pemuda", kata Lukman al-Hakim, "yang mati karena terpeleset kata-katanya, tetapi hampir tidak ada yang mati karena terpeleset kakinya." Hadis Nabi: "Muslim yang sejati adalah Muslim yang memberi keselamatan terhadap Muslim lainnya, baik dengan mulut maupun dengan tangannya". (HR Bukhari dan Abu Daud). Alquran juga melarang keras orang memanggil dengan julukan yang kotor dan menyakitkan (QS al-Hujurat [49]:11). Mengomentari ayat ini, pakar tafsir, Ibnu Jarir menjelaskan, gelar/julukan sebenarnya tidak dilarang, bila julukan itu mengandung sifat terpuji, seperti julukan al-Athiq (pembebas budak) yang diberikan kepada Abu Bakar, al-Faruq (juru pemisah benar dan batil) kepada Umar, Abu Turah (bapak tanah/pemurah hati) kepada Ali, dan julukan Syaifullah (pedang Allah) kepada Khalid bin Walid. Di zaman modern yang serba rumit dan sensitif dengan aroma kehidupan dan dinamika perpolitikan ini, siapa pun yang sedang berkesempatan menjadi pemimpin publik hendaknya senantiasa berhati-hati menjaga mulut dari kata-kata yang tak sopan dan kasar. Betapa pun hebatnya sang pemimpin mendesain dan merekayasa seabrek program yang dirangkai dengan segala keterampilan spektakuler. Katakanlah publik serta merta telah mengelu-elukan sang pemimpin sebagai tokoh langka, cerdas, tegas dan berani. Namun kehebatan sang pemimpin menjadi rontok dan sirna manakala ia enggan menjaga martabat mulutnya dari pernyataan-pernyataan kasar lagi menyinggung perasaan banyak orang. Sumber: Republika

Senin, 06 Maret 2017

JAKARTA -- Siapa yang tidak pernah jatuh cinta? Setiap dari kita pernah jatuh cinta. Baik jatuh cinta sebelum menikah, saat menikah, atau setelah menikah. Tentu, cerita cinta di antara kita berbeda satu sama lain. Ada yang sejak awal sampai akhir pernikahan penuh dengan kebahagiaan. Ada yang bahagia sebelum menikah tapi sedih dan kecewa ketika sudah menikah. Ada yang bahagianya setelah menikah. Ada pula yang bahagianya sebelum, saat, dan setelah menikah. Inilah ornamen hidup. Semua tergantung cara pandang kita menyikapinya. Beda orang tentu beda penyikapan. Di sisi lain, ada juga yang sudah tidak percaya cinta. Karena baginya cinta itu bisa dibeli. Bahagia itu uang, bukan cinta. Bahagia itu materi, bukan rasa. Karena, rasa akan berubah seiring dengan materi tercukupi. Inilah postulat yang perlu diluruskan. Karena akan berbahaya jika uang sudah bisa membeli segalanya (money can buy all).
Cinta sumbernya di hati. Uang sumbernya di pikiran. Siapa mampu mengelola hati akan bahagia dan uang akan mudah didapat. Sifatnya lebih abadi. Beda dengan uang. Memang, uang bisa membeli kebahagiaan, tapi sifatnya sementara. Mau yang abadi atau sementara? Tentu memilih yang abadi. Karena, hidup ini sebuah perjalanan menuju. Bukan perjalanan akhir. Jangan sampai terminal dunia ini jadi pemberhentian kebahagiaan sementara. Sementara perjalanan akhir, yaitu akhirat yang abadi, tidak kita prioritaskan. Bukankah Alquran mengajarkan bahwa akhirat jauh lebih baik dari dunia? (QS al-An'am [6]: 32; QS al-A'la [87]: 17; QS ad-Dhuha: 4). Karenanya, memahami cinta sebaiknya berlatih dulu memahami diri sendiri. Selanjutnya dengan memahami diri sendiri dulu, maka akan bisa "melihat" Allah. Bukankah itu kebahagiaan sejati, bisa "melihat" Allah yang ada dalam diri kita?. Sehebat apa pun dia, tanpa mampu memahami diri sendiri dulu, maka sejatinya dia tidak pernah merasakan cinta dan bahagia dunia. "Kenali diri dulu, maka kau akan mengenal Allah" (HR Bukhari-Muslim). Kabanyakan dari kita sibuk memikirkan orang lain. Padahal orang lain belum tentu memikirkan kita. Aneh bukan? Pelajaran inilah yang saya dapatkan dari seorang sahabat yang menempatkan cintanya hanya pada Allah semata. Katanya, "Saya memang cinta dan sayang sama dia (calon suaminya). Makanya, saya gantungkan cinta saya dulu pada Allah yang mengatur hatinya. Untuk apa saya kejar-kejar dia, biarlah saya kejar-kejar Allah dulu agar Allah atur hati dia hanya untukku." Sungguh indah, jika kita memiliki rasa cinta kepada sesama manusia seperti dia. Cintanya murni kepada Allah. Dia yakin, hati manusia itu kuasa Allah. Makanya, dia sandarkan cintanya hanya pada Allah. Bukan pada manusia. Agar, ikhlas menjalaninya dan ringan menghadapinya. Apa pun keputusan Allah, itulah yang terbaik bagi kita. Karena Allah lebih tahu yang terbaik untuk kita. Bukankah sudah banyak cerita, yang kita duga baik ternyata tidak dan yang kita persepsikan tidak baik ternyata malah baik bagi kita. Mari, menggantungkan cinta hanya pada Allah semata. Sumber:Republika

About Us

Our team

About the author

Video of the day

Beauty

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *